Kesempatan Emas Memupuk Kemampuan Ekspresi Diri Anak

anak anak 2 tahun

Masa Memberontak di Usia Dua Tahun:”Kesempatan Emas Memupuk Kemampuan Ekspresi Diri Anak”  

Kesempatan Emas Memupuk Kemampuan Ekspresi Diri Anak

Ditulis oleh Andini Rizky
“Masa memberontak” identik dengan istilah “susah diatur” ,”keras kepala”, dll yang memberikan imej negatif. Tetapi, perasaan “ingin menyatakan”  yang mulai tumbuh pada masa inilah yang sebenarnya merupakan langkah awal yang penting bagi kemampuan mengekspresikan diri. “Masa memberontak” merupakan tahap awal untuk menumbuhkan kemampuan berinteraksi dengan orang lain.

“Masa memberontak” Juga Bukti Kepercayaan Anak Pada Orang Tua.

Selama ini anak saya penurut, tetapi sejak usia 2 tahun jawabannya selalu “tidak mau”, sudah repot-repot dipakaikan baju malah ngotot mau dibuka lagi dan pakai sendiri…

“Jangan-jangan masa memberontak?” begitu tanya banyak orang tua yang pasang ancang-ancang untuk bertempur dengan anak. Tetapi, tindakan-tindakan sejenis yang terlihat seperti “melawan orang tua” ini, merupakan bukti pertumbuhan jiwa dan tubuhnya, juga bukti tumbuhnya kesadaran akan “diri sendiri”. Jadi jika dilihat dari segi pertumbuhan anak, masa ini bukan masa negatif malah hal yang menggembirakan.

Di dalam diri anak, kesadaran akan “diri sendiri” mulai tumbuh sekitar usia 2-3 tahun. Pada masa ini, anak sudah bisa mengendalikan gerakan sesuai keinginannya sendiri, seperti berlari, naik tangga, melompat, dan sebagainya. Jika dipanggil namanya ia sudah bisa menjawab, sebagai bukti bahwa telah muncul kesadaran adanya “aku”. Ia juga mulai sadar bahwa tindakannya mendapatkan penilaian dari sekitar, bisa pujian atau larangan. Kesadaran bahwa “aku berbeda dengan orang lain” ini menyebabkan munculnya perasaan “aku ingin melakukan ini”.

Perasaan ingin menyatakan keinginan kepada orang-orang yang dipercayai inilah yang disebut “masa memberontak.”

Adanya masa memberontak adalah salah satu bukti terjalinnya kepercayaan anak terhadap orang-orang di rumah.

Rewel dan “Tidak Mau” Karena Anak Belum Bisa Menyatakan “Perasaan” Dengan “Kata-kata” .

Jika Orang Dewasa Mengajarkan Cara Berekspresi, Ledakan Emosi Anak Akan Berkurang

Anak-anak pada masa ini belum bisa menyatakan perasaannya melalui lisan, juga belum bisa menyampaikan keinginannya kepada lawan bicara dengan cara yang mudah dimengerti. Oleh karena itu, tanggapannya terhadap segala pertanyaan adalah diawali dengan “tidak mau”. Perasaan yang pada orang dewasa dapat dengan mudah dinyatakan sebagai “rasa sebal”, “bad mood”, “kesal”, bagi anak dirasakan sebagai perasaan tidak nyaman yang bagi diri si anak pun tidak betul-betul dipahaminya. Maka jika ia dimarahi atau ada peristiwa yang tidak sesuai keinginannya, ledakan emosinya muncul sebagai tangisan keras atau kerewelan. Bagi orang tua, mungkin anak terlihat sedang “melawan”, tetapi sebenarnya anak tidak berpikir ingin melawan, ia hanya tidak tahu bagaimana cara menyatakan perasaannya.

Lagipula kemampuan untuk memberitahukan perasaan kepada orang lain bukan kemampuan manusia yang sudah ada sejak lahir, tetapi merupakan “skill” atau keahlian yang didapatkan kemudian. Seperti halnya kebiasaan antri dan mematuhi aturan,  kemampuan berkomunikasi ini harus diajarkan dulu oleh orang-orang dewasa di sekitar, baru kemudian dipelajari dan diterapkan oleh anak. Maka saat ini, yaitu saat anak mulai ingin “menyatakan sesuatu”, adalah kesempatan emas untuk memupuk kemampuan mengekspresikan diri.

Pertama-tama, coba hadapi anak bukan dengan perasaan “anak ini melawan, maka saya harus menekannya” tetapi “anak ini tidak mengerti, maka saya harus mengajarkannya”. Jika anak mampu menyatakan perasaannya dengan kata-kata, ledakan emosinya pasti berkurang.

Ekspresi Diri Adalah Kemampuan Wajib Untuk Hidup Bermasyarakat.

Kemampuan ekspresi diri tidak hanya diperlukan pada masa kecil. Selama ini, dalam budaya Jepang, ada kebiasaan untuk tidak menyatakan perasaan secara langsung. Ada anggapan bahwa “tidak usah dibicarakan juga sudah mengerti” adalah hal yang baik. Tetapi dengan berjalannya proses globalisasi, nilai-nilai yang dianut individu pun semakin beragam. Agar dapat hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda prinsip, maka kita tidak boleh ngotot menganut paham “tidak usah dibicarakan juga harus mengerti”, tetapi harus saling menyampaikan perasaan, mengakui adanya perbedaan, dan saling menunjukkan pengertian. Menyatakan perasaan erat kaitannya dengan mendengarkan baik-baik kata-kata orang lain. Kemudian dari situ, kita menyadari perbedaan dengan orang lain, dan lahirlah kemampuan untuk mengatasi masalah yang timbul dari perbedaan tersebut. Kemampuan ini adalah kemampuan yang wajib dimiliki oleh anak dalam hidup bermasyarakat kelak.

Belakangan ini di SD dan SMP dimasukkan pula program kurikulum untuk memupuk kemampuan mengekspresikan diri dan perasaan kasih kepada orang lain. Tetapi yang paling penting tentu saja upaya dari orang-orang terdekat di rumah tangga. Orang dewasa di rumah harus mengajarkan kemampuan yang penting untuk masa kanak-kanak di masa kanak-kanak, dan kemampuan penting untuk masa pubertas di masa pubertas. Misalnya, jika anak tumbuh sedikit lagi, mau tidak mau anak akan berhadapan dengan masalah bermusuhan dengan temannya. Orang tua tidak boleh hanya mengatakan, “Besok baikan lagi ya.” Tugas orang tua adalah mengajarkan kemampuan ini secara kongkret, misalnya, “Besok pagi ketika kamu pergi ke taman, cepat-cepat cari temanmu itu, lalu katakan “maaf ya!”.”  Dengan mengulang-ulang pengajaran seperti ini, kelak akan menumbuhkan “kemampuan mengekspresikan diri”, yang selanjutnya bertalian dengan “kemampuan mengasihi orang lain” dan “menyelesaikan masalah” pada diri anak.

Apa yang bisa dilakukan orang tua pada masa genting ini?

Yang Bisa Dilakukan Orang Tua Sejak Hari Ini

1.       Berbicara Mewakili Perasaan Anak
2.       Mendengarkan Perkataan Anak
3.       Mengembangkan Imajinasi Anak

1. Berbicara Mewakili Perasaan Anak

Berikan “nama” untuk perasaan anak. Lambat laun ia akan bisa menyatakannya sendiri.

Bagi anak-anak usia ini, masih sulit untuk menerjemahkan perasaan dan pikirannya  ke dalam kata-kata guna disampaikan kepada lawan bicara. Oleh karena itu, orang di rumah perlu membaca perasaan anak, lalu menyampaikannya dalam bentuk lisan. Misalnya,”Oh kamu mau mengerjakan ini sendiri ya?” , “Kamu kesal ya?”  Jadi, berikanlah nama sebutan untuk perasaan yang bagi anak belum ada namanya. Selain anak akan merasa lega karena dipahami orang terdekatnya, ia menjadi sadar bahwa “rupanya perasaanku yang tidak kumengerti ini namanya “kesal”.” Dengan mengulangi proses semacam ini, lama-lama ia akan bisa sendiri menyatakan perasaannya, seperti “aku mau melakukan sendiri”.

Juga sampaikan perasaan lawan bicara anak, dengan kata-kata. Ketika anak punya masalah dengan temannya, dengan berbicara mewakili perasaan si teman, artinya Anda mengajarkan bahwa orang lain juga mempunyai perasaan yang bermacam-macam.

Selain itu, sambil membaca buku bergambar, berikan nama perasaan untuk tokoh-tokoh yang muncul dalam buku. Misalnya, “Beruang menangis ya. Mungkin dia sedang sedih?”, “Tahu tidak perasaan si kelinci?” Coba ajak anak berpikir sendiri tentang perasaan tokoh kesukaannya.

Latihan Untuk Anda!

Pertanyaan: Dalam percakapan sehari-hari dengan anak, ketika Anda menyatakan perasaan “sedih”, istilah apa yang Anda gunakan? Sebutkan sebanyak-banyaknya.

“Sedih, ihik-ihik, tersedu-sedu, sebal, kesal…”

Berapa yang bisa Anda sebutkan? Bagi Anda yang tidak bisa menjawab sama sekali, atau terpikir kata yang itu-itu saja, jangan-jangan Anda kurang peka terhadap perasaan orang? Semakin banyak variasi kata-kata orang-orang di rumah, semakin banyak juga istilah yang dipakai anak untuk mengekspresikan dirinya. Supaya bisa menyampaikan perasaan secara mudah dimengerti, kita sendiri pun ingin dapat menyatakan berbagai perasaan dengan kata-kata, bukan?

Kesempatan Emas Memupuk Kemampuan Ekspresi Diri Anak

2. Mendengarkan Perkataan Anak

Pertama dengarkan baik-baik cerita anak. Kemampuan mengeskpresikan diri hanya tumbuh bila ada orang yang sungguh-sungguh mendengarkan pernyataannya.

Keinginan anak untuk menyatakan sesuatu hanya akan tumbuh baik jika dan hanya jika ada lawan bicara yang sungguh-sungguh mendengarkan perasaannya. Oleh sebab itu, ketika anak mengajak bicara, mari dengarkan kata-katanya baik-baik. Pada masa ini, cerita dari anak biasanya sepotong-sepotong, tiba-tiba, dan bercampur aduk antara khayalan dan kenyataan. Tidak jarang orang tua jadi ingin menyahut, “Bicara apa sih kamu?” atau “Ya ya ya…” lalu angkat bahu, mengacuhkan si anak. Tetapi, jika lawan bicara mau mendengarkan dengan sungguh-sungguh, rasa percaya pada lawan bicara akan tumbuh, dan perasaan ingin bicara akan muncul. Walaupun cerita anak tidak jelas konteksnya, pertama-tama tanggapilah apa adanya.

Yang penting Anda jangan sampai menghakiminya dengan mengatakan,”Itu salah” atau “Tidak boleh”. Coba berikan bingkai cerita yang jelas atau atur alur cerita anak, misalnya, “Ooo… Wati rupanya melakukan ………ya.” Dengan demikian anak juga mendapat penolong untuk memahami kenyataan. Memahami kenyataan secara obyektif ini merupakan langkah penting untuk anak guna memikirkan sendiri cara menyelesaikan masalah.

Pada masa ini banyak orang dewasa cenderung “memarahi”, “mengomeli” sebagai cara berhadapan dengan anak. Tetapi sebenarnya, yang lebih penting adalah benar-benar mendengarkan cerita anak ketika perasaannya sedang senang.

Ilustrasi:
Anak ( Wati): “Aku buat kue. Ini.” (sambil memberikan balok mainan berbentuk segitiga)
Ibu:  “Wati membuatkan kue untuk Ibu ya. Terima kasih.”

Latihan Untuk Anda!
Pertanyaan: Cobalah bercerita tentang masa kecil kepada anak. Misalnya, “Si A bilang : “Tidak mau main lagi dengan kamu”. Ibu jadi sedih, lalu menangis.” Triknya adalah bercerita agar mudah dimengerti siapa tokohnya, apa yang dilakukan, dan bagaimana perasaan yang timbul.

Dasar komunikasi adalah berbicara dengan kata-kata sendiri, lalu mendengarkan baik-baik cerita lawan bicara. Cara orang di rumah berbicara, akan menjadi model bagi anak ketika ia ingin bercerita pada orang lain, juga akan mengundang perasaan ingin mencoba bercerita tentang perasaannya. Bagi Anda yang merasa kurang bisa, cobalah biasakan meringkas pengalaman sehari-hari dengan kata-kata sendiri.

3. Mengembangkan Imajinasi Anak

Izinkan anak memegang kendali. Sampaikan kata-kata yang mengembangkan imajinasinya.

Daya imajinasi akan tumbuh berkembang dengan cara mengekspresikannya. Jadi, memupuk daya imajinasi sama dengan memupuk kemampuan menyampaikan sesuatu.

Tetapi anak usia ini masih belum mahir membayangkan sesuatu dan menyatakannya dengan kata-kata jika tidak ada awal yang jelas. Orang dewasa sering ceroboh bertanya, “Kamu sebenarnya mau apa?” “Cepat putuskan!” dan pertanyaan sejenis yang memaksakan anak berpikir dari sesuatu yang tidak ada. Misalnya seperti contoh 1 berikut ini:

Contoh 1:

Ibu: “Mau main di taman mana?”
Anak: “Mmmm… tidak tahu.”
Ibu: “Kalau tidak cepat memutuskan, keburu waktu makan siang.”
Anak: “Kalau begitu, Taman Sakura.”
Ibu: “Taman Sakura? Nggak ah, kan jauh.”
Anak: “Tapi aku suka kolam pasir di Taman Sakura.”
Ibu: “Kalau begitu cepat ambil sekop dan ember plastikmu.”
Anak: “Di mana?”
Ibu: “Di dekat pintu kan. Cepat ambil sana.”
Anak: “Nggak tau ah.” (meledak tangisnya)

Kesempatan Emas Memupuk Kemampuan Ekspresi Diri Anak

Dalam contoh 1, ibu memegang kendali, tetapi tidak memberikan pilihan-pilihan yang kongkrit, sehingga anak tidak bisa membayangkan tindakan selanjutnya. Apalagi pilihan anak lalu ditolak oleh ibu, sehingga anak menjadi semakin tidak senang, dan akhirnya menangis. Jika percakapan semacam ini diulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari, anak tentu saja menjadi kesal dan mudah menangis, sedangkan ibu kemudian memarahi. Karena dimarahi tentu anak tambah menangis, dan seterusnya menjadi lingkaran setan.

Contoh 2:

Ibu: “Mau main di taman mana?”
Anak: “Mmm… nggak tahu.”
Ibu: “Kalau begitu kita pergi ke Taman Sakura yuk!”
Anak: “Ya. Aku mau ke Taman Sakura.”
Ibu: “Kemarin dulu kita bikin terowongan pasir di sana.”
Anak: “Kita bikin lagi yuk!”
Ibu: “OK. Ayo kita bawa sekop plastik.”
Anak: “Bawa ember juga ya.”
Ibu: “Ayo lomba lari sampai taman.”
Anak: “Asyik! Satu, dua, tiga!”

Kemampuan anak untuk membayangkan sesuatu masih minim, maka orang dewasa perlu memberikan pertolongan. Jika anak menjawab “tidak tahu”, cobalah mengembangkan imajinasinya dengan memberikan saran atau pilihan kongkret seperti contoh 2 (“Bagaimana kalau kita …?”).

Jika anak mengatakan, “Aku ingin melakukan …”, tanggapilah dengan pengakuan positif, seperti ,“Ide bagus.” “Kayaknya seru.”  Selanjutnya coba arahkan percakapan agar anak bisa membayangkan kejadian menarik yang akan terjadi (“membuat terowongan pasir”). Dengan begitu imajinasi anak akan berlanjut (“mari bawa sekop” “mari bawa ember” dsb.)

Kesempatan Emas Memupuk Kemampuan Ekspresi Diri Anak

Pandanglah “Masa Memberontak” Sebagai Masa Menjadi Dewasa Bagi Orang Tua Pula

Masa melawan ini selain masa yang penting untuk memupuk kemampuan anak demi masa depannya, juga merupakan kesempatan untuk melihat anak sebagaimana dia apa adanya, dan kesempatan untuk mawas diri bagi orang tua. Ekspresi diri khas masa melawan ini –rewel dan menolak semuanya- tidak berlanjut selamanya. Jika anak sudah mengingat cara menyampaikan dirinya, sudah bisa menahan diri dan mengikuti aturan, dengan sendirinya ledakan emosinya akan berkurang. Tetapi, kemampuan untuk menyatakan perasaan dan pendapat tetap diperlukan dalam kehidupan anak selanjutnya. Dengan semakin luasnya pergaulannya, sejak masuk TK dan seterusnya, akan semakin banyak kesempatan di mana ia harus menyatakan perasaannya kepada orang lain, menahan diri, dan sebagainya. Kemampuan mengekspresikan diri yang diperoleh di usia 2~3 tahun inilah yang akan menjadi dasar kemampuan untuk hidupnya, 10 tahun, 20 tahun ke depan.

Kesempatan Emas Memupuk Kemampuan Ekspresi Diri Anak

Orang tua wajib mengajarkan kepada anak kemampuan yang penting baginya. Keyakinan bahwa orang tua akan menolong jika diperlukan, merupakan hal yang sangat dibutuhkan anak. Oleh karena itu, orang tua harus membangun hubungan kepercayaan yang kokoh dengan anak. Dalam artian ini pun, cara orang tua berhubungan dengan anak pada masa melawan ini merupakan hal yang tidak boleh dianggap remeh. Membesarkan anak adalah pengalaman berharga untuk tumbuh menjadi manusia yang lebih utuh bagi orang tua. Semoga dengan mengasah kemampuan mengatasi masalah dengan anak, orang tua pun bisa menjadi orang dewasa yang lebih dewasa.

Selesai. ***

Tulisan asli dimuat di leaflet bulanan “Kodomo o Manabu” Penerbit Benesse, Edisi April 2006, ditulis oleh Yayoi Watanabe, dosen Jurusan Psikologi Fakultas Sastra Universitas Hosei, dialihbahasakan oleh Andini Rizky (Tim artikel PPA-Fahima).

Kesempatan Emas Memupuk Kemampuan Ekspresi Diri Anak

butuh website??? kunjungi saja www.pusatweb.id

Baca Juga Lengkapi Jualan Anda Dengan Website
Mau Belajar Website klik saja disini

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!